Minggu, 11 Desember 2011

RATIFIKASI PERJANJIAN BATAS-BATAS PERAIRAN INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI FUNGSI PERTAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


A.   Latar Belakang Masalah
Kenyataan bahwa posisi Indonesia dikelilingi oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta diapit oleh dua benua besar, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, membawa dampak positif dan juga dampak negative bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi upaya pertahanan dan keamanan Negara. Dampak positif yang diperoleh adalah Indonesia berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sedangkan  dampak negatifnya adalah Indonesia rawan mengalami konflik dengan negara tetangga yang berbatasan langsung (daratan) dan berbatasan tidak langsung (perairan) dengan Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk memastikan batas-batas wilayah kekuasaan Indonesia yang diakui secara internasional.
            Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara, khususnya batas wilayah perairan  merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim sebagaimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. (Etty R Agoes, 2004).
Adapun batas-batas maritim yang tertuang dalam UNCLOS 1982 meliputi batas-batas Laut Teritorial (Territorial Sea), batas-batas Perairan Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE (Economic Exclusive Zone), dan batas-batas Landas Kontinen (Continental Shelf). Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan kesejahteraan warga negara melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai (off-shore), wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya.  Kejelasan batas-batas perairan negara dengan negara tetangga juga membantu memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Begitu pentingnya kepastian hukum mengenai batas-batas perairan Indonesia dengan negara-negara tetangga, sehingga segala bentuk kesepakatan melalui perjanjian dengan negara tetangga harus melalui tahap ratifikasi perjanjian agar masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat konsisten dan terhindar dari upaya pelanggaran perjanjian.  Mengingat pentingnya ratifikasi perjanjian internasional mengenai batas-batas perairan negara, lembaga legislatif sebagai lembaga yang berwenang seharusnya tidak mengabaikan proses ini, sebagaimana disampaikan Yusril Ihza Mahendra (1996:126).
 Mengingat bahwa suatu perjanjian internasional akan membawa akibat-akibat hukum tertentu, yaitu timbulnhya hak-hak dan kewajiban, serta berbagai implikasi di bidang politik, ekonomi, social-budaya, pertahanan keamanan, dan sebagainya, maka sudah seharusnya perjanjian itu tidak hanya disahkan oleh pihak eksekutif.
Oleh karena itu, walaupun pihak eksekutif telah menandatangani suatu perjanjian internasional, pengesahan perjanjian itu masih memerlukan persetujuan lembaga-lembaga perwakilan rakyat .Dalam kenyataannya, proses  ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian tentang batas-batas perairan kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun lembaga perwakilan yang berwenang yaitu DPR.



B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis temukan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :  Bagaimanakah Ratifikasi Perjanjian Batas-Batas Perairan Indonesia Dengan Negara Tetangga Sebagai Upaya Optimalisasi Fungsi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

C.   Tinjauan Teori
1.    Pengertian Ratifikasi
Menurut Yusril Ihza Mahendara (1996:123), secara sederhana istilah ratifikasi mengandung makna pengesahan suatu perjanjian yang bercorak internasional. Dikatakan internasional karena praktik ratifikasi pada umumnya berhubungan dengan pengesahan perjanjian yang dibuat oleh satu negara dengan negara lain, atau antara satu negara dengan suatu lembaga (organisasi) internasional.

2.    Lembaga dan prosedur ratifikasi
Hukum Tata Negara RI mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai persetujuan DPR, bukan konfirmasi. Hal ini tercermin dalam pasal 11 UUD 1945 ayat 1 – 2, yaitu : (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden dalalm membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tentang Perjanjian Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi DPR” ketimbang “persetujuan DPR”.
Adapun mengenai prosedur ratifikasi perjanjian internasional, dikenal dua prosedur yang berlaku dalam suatu negara, yaitu prosedur eksternal (internasional) dan prosedur internal (nasional). Pada prosedur eksternal, ratifikasi dilakukan sebagai bentuk konfirmasi pemerintah kepada parlemen atau lembaga perwakilan rakyat sebagai pemberitahuan bahwa telah dilakukan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan dalam prosedur internal (nasional), proses ratifikasi selain merupakan konfirmasi pemerintah kepada parlemen bahwa negara telah menandatangani suatu perjanjian, juga berarti persetujuan dari parlemen sebelum pemerintah menandatangani perjanjian.
3.    Wilayah Perairan Indonesia
Wawasan Nusantara sebagai konsep kewilayahan adalah wawasan yang dicetuskan dalam Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Pokok-pokok pengertian tentang perairan yang disebutkan dalam deklarasi itu kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 (18 Februri 1960) tentang perairan Indonesia. Ketentuan ini menyatakan bahwa lautan Republik Indonesia adalah selain “laut-laut dalam” dan “selat-selat dalam” (maksudnya lautan dan selat di antara pulau-pulau), juga termasuk lautan territorial sepanjang 12 mil, yang dihitung mulai dari suatu “garis dasar” yang telah ditetapkan ke lautan (bebas). Adapun yang dimaksud dengan ‘garis dasar” tersebut adalah garis dalam peta yang dibuat di sekeliling seluruh kepulauan Indonesia dan terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan pulau-pulau yang terujung di sekitar kepulauan Republik Indonesia.
Setelah melalui perjuangan panjang dan sangat rumit di forum internasional, akhirnya konferensi PBB tentang Hukum Laut III di New York pada 30 April 1940 telah menghasilkan united Nations Conventions on the Law of The Sea (Konvensi PBB tnetang Hukum Laut). Konvensi ini kemudian ditandatangani di Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982 oleh 117 negara peserta termasuk RI. Konvensi ini antara lain mengakui tentang azas negara kepulauan (Archipelago State Principle) dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).  Pada 18 Oktober 1983, Pemerintah RI telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tentang Zona Ekonomi eksklusif Indonesia. Pada tahun 1985 telah dilkeluarkan UU No. 17 tahun 1985, tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.
4.    Fungsi Pertahanan Negara
Seorang ahli politik bernama Miriam Budiardjo mengatakan bahwa setiap negara apapun ideologinya, menyelenggarakan beberapa fungsi minimum, yaitu :
a.    Fungsi penertiban (Law and Order), Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban atau bertindak sebagai stabilisator.
b.    Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari negara.
c.    Fungsi Pertahanan yaitu untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, sehingga negara harus diperlengkapi dengan alat-alat pertahanan.
d.    Fungsi keadilan, yang dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Khusus mengenai fungsi pertahanan, dimaksudkan terutama untuk menjaga dan mempertahankan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa batas-batas wilayah territorial negara benar-benar aman dari segala kemungkinan serangan dari luar, termasuk memastikan bahwa negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah perairan melaksanakan seluruh kesepakatan yang telah ditandatangani melalui perjanjian.dengan Indonesia. Adapun beberapa negara yang memiliki perjanjian perbataasan di wilayah perairan dengan Indonesia adalah : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.

D.   Pembahasan  Masalah
Status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah dikukuhkan melalui c Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim. Namun seiring dengan hal itu, Indonesia juga mempunyai tugas untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya di laut terhadap dunia internasional, sesuai dengan kesepakatan Konvensi.
 Indonesia sepatutnya mensyukuri adanya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS), sebab Indonesialah yang paling diuntungkan mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan, yaitu luas daratan 2.027 km2, sedangkan luas perairan 6.184.280 km2. Perjuangan Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum internasional mengenai batas-batas perairan berikut hak-hak sebagai negara kepuluan telah berlangsung selama 25 tahun, dan akhirnya melalui UNCLOS diputuskan ketentuan-ketentuan tentang perairan pedalaman (Inland waters), perairan kepulauan (Archipelago waters), laut wilayah / territorial (Territorial waters), landas kontinen (Continental shelf), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Zona tambahan. Dalam UNCLOS tersebut memuat ketentuan/peraturan tentang bagaimana menentukan titik pangkal (base points), garis pangkal (base lines), dan ketentuan jarak.
Sebagai konsekuensi dari adanya Hukum Laut Internasional (HLI), Indonesia mempunyai tugas untuk mengelaborasi dan menjabarkan HLI ini untuk kepentingan Indonesia sendiri dan untuk pengaturan lalu lintas laut internasional yang cukup padat (karena kedudukan wilayah NKRI yang strategis) serta melaksanakan perundingan dengan negara-negara tetangga untuk menentukan batas perairan. Semua itu perlu dilakukan dalam rangka penegakan wilayah kedaulatan NKRI. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian tentang batas-batas perairan dengan negara tetangga, antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, dan Filipina. Namun belum semua dari perjanjian itu yang telah diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Riwayat ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang ternyata tidak begitu baik. Sikap DPR sebagai lembaga yang berwenang meratifikasi perjanjian atau Undang-Undang seringkali pasif. DPR cenderung hanya menunggu, apabila Pemerintah mengajukan RUU ratifikasi tentang suatu perjanjian internasional, barulah DPR membahasnya. Sebaliknya meskipun DPR mengetahui ada perjanjian-perjanjian yang sepatutnya memerlukan ratifikasi DPR, tetapi pemerintah tidak mengajukan RUU ratifikasi, maka DPR pun tidak bereaksi. (Yusril Ihza Mahendra, 1996 : 131).
Akan tetapi, untuk perjanjian-perjanjian dengan negara tetangga tentang batas-batas perairan, baik pemerintah maupun DPR telah memiliki kepedulian dan tanggung jawab untuk melakukan ratifikasi. Hal ini menunjukkan tingginya semangat bela negara dan kesadaran terhadap pentingnya upaya pertahanan dan keamanan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berikut ini proses ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional mengenai batas-batas wilayah perairan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia bersama DPR.
1.    Ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Seal/UNCLOS) pada tahun 1982.
Pemerintah Indonesia  telah meratifikasi UNCLOS’82 dengan UU. No: 17 tahun 1985, hal-hal fundamental yang diatur dalam konvensi ini adalah diterimanya konsepsi negara kepulauan (Archipelagic State) , ditetapkannya lebar laut wilayah (teritorial) 12 NM, batas zone ekonomi eksklusif (ZEE) 200 NM dan batas landas kontinen. Dengan berlakunya ketentuan UNCLOS’82, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan secara formal telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk mengenai hak-hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah-wilayah negara kepulauan. Untuk itu sebagai negara kepulauan Indonesia dapat menerapkan ketentuan yang ada dalam konvensi khususnya yang berkaitan dengan aspek penetapan batas laut Indonesia dengan Negara-negara tetangga.

2.    Ratifikasi perjanjian batas-batas perairan antara Indonesia dengan Malaysia
Batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh kedua negara dengan melakukan perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini masih berdasarkan ketentuan-ketentuan hasil konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958, dimana hasil konferensi ini masih belum memuat ketentuan tentang batas zona ekonomi. Oleh karena itu, sebagai implementasi lahirnya UNCLOS’82 , Indonesia berupaya untuk menetapkan batas maritim dengan Malaysia terutama batas laut ZEE di perairan Selat Malaka .

Batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini belum pernah dirundingkan atau dibuat perjanjiannya dengan Malaysia sehingga Indonesia menganggap masih bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera mengadakan pembicaraan. Selama ini Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun 1969 sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia ini , telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS’82 karena ketentuan-ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda dengan  ketentuan pada perjanjian landas kontinen dengan Malaysia pada 27 Oktober 1969 , sehingga dengan adanya pendapat Malaysia di atas bangsa Indonesia akan dirugikan baik dari segi politik, ekonomi dan hankam.

Dengan penetapan batas ZEE yang baru tentunya Indonesia akan diuntungkan, karena garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia akan berada di sebelah kanan garis batas landas kontinen atau mengarah ke pantai Malaysia. Keuntungan lain yang diperoleh Indonesia dengan adanya garis batas ZEE baru adalah wilayah perairan Indonesia akan bertambah luas dan dengan sendirinya akan diperoleh keuntungan secara ekonomi karena sumberdaya perikanan di daerah tersebut sangat melimpah. Sedangkan keuntungan politis yang diperoleh pemerintah Indonesia adalah, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat Malaka.

Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas landas kontinen yang terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai Timur Malaka). Penetapan titik-titik koordinat secara teknis menggunakan ketentuan-ketentuan pada konferensi PBB I tahun 1958 dan oleh Malaysia secara sepihak perjanjian batas landas kontinen dianggap sekaligus garis batas ZEE (single line), sedangkan Indonesia menganggap batas ZEE kedua negara belum pernah dirundingkan sehingga belum ada batasnya dan menurut ketentuan UNCLOS’82 batas landas kontinen tidak harus sama dengan batas ZEE.

Perjanjian batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di perairan Selat Malaka tahun 1969, secara teknis dan yuridis sangat merugikan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam penetapan batas tersebut menggunakan titik-titik dasar dan garis dasar pada air rendah (kontur nol) di pantai Timur Sumatera seperti tercantum dalam UU. No : 4 / Prp. Tahun 1960, sedangkan Malaysia menarik garis dasar dari Pulau Jarak ke Pulau Perak sejauh 123 NM, ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS’ 82 dimana pada Pasal 47 ayat (2) hanya membolehkan maksimal 100 NM. Disamping itu sebagai negara pantai (coastal state) Malaysia seharusnya menarik garis dasar dari main island bukan dari Pulau Jarak ke Pulau Perak yang sangat jauh dari pantai, hal ini menyebabkan penetapan batas landas kontinen hasil perundingan tahun 1969 sangat merugikan Indonesia karena garis batasnya cenderung masuk ke arah pantai Indonesia.

Berdasarkan kondisi di atas maka, Indonesia tentunya harus melakukan revisi atau mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969. Kondisi geografis pantai Indonesia dan pantai Malaysia di perairan Selat Malaka yang saling berhadapan maka, berdasarkan ketentuan Pasal 74 UNCLOS’82 dan Point 6. Bilateral Boundaries TALOS Sp. No. 51 1993 penetapan garis batas ZEE dapat direkonstruksi menggunakan metode garis tengah (median line) untuk mencapai pemecahan yang adil.


Tindakan-tindakan sepihak yang dilakukan Malaysia kaitannya dengan kesepakatan batas-batas perairan dengan Indonesia tentunya tidak akan terjadi apabila Indonesia segera melakukan ratifikasi perjanjian landas kontinen 27 Oktober 1969 dengan Malaysia Karena dengan ratifikasi akan mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
3.    Ratifikasi perjanjian batas-batas perairan dengan Australia
Perjanjian-perjanjian mengenai batas perairan antara Indonesia dengan Australia yang dibuat dari tahun 1973-1997 ternyata belum pernah diratifikasi oleh parlemen Australia maupun Indonesia. Anehnya Australia telah menggunakan perjanjian tersebut untuk mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah teritorinya, termasuk seluruh kekayaan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya.
Kenyataan tersebut sangat disayangkan, karena ternyata seluruh perjanjian tentang batas-batas perairan antara Australia dengan Indonesia dari tahun 1973 sampai 1997 sangat merugikan Indonesia dan harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan data geologi dan geomorfologinya.

E.    KESIMPULAN

Begitu pentingnya kepastian hukum mengenai batas-batas perairan Indonesia dengan negara-negara tetangga, sehingga segala bentuk kesepakatan melalui perjanjian dengan negara tetangga harus melalui tahap ratifikasi perjanjian agar masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat konsisten dan terhindar dari upaya pelanggaran perjanjian.
Dalam kenyataannya, proses  ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian tentang batas-batas perairan kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun lembaga perwakilan yang berwenang yaitu DPR. Dari sekian banyak perjanjian perbatasan perairan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, masih ada perjanjian yang belum diratifikasi, antara lain  perjanjian perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dan Australia. Dampak dari belum dilakukannya ratifikasi perjanjian perbatasan tersebut adalah munculnya tindakan-tindakan sepihak dari Australia dan Malaysia yang melanggar isi perjanjian, atau bahkan bertindak di luar ketentuan-ketentuan yang tercantum pada perjanjian.
Pelanggaran batas perairan oleh negara lain menunjukkan lemahnya fungsi pertahanan negara, sebab batas wilayah dan yurisdiksi negara, khususnya batas wilayah perairan   merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa batas-batas wilayah territorial negara benar-benar aman dari segala kemungkinan serangan dari luar, termasuk memastikan bahwa negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah perairan melaksanakan seluruh kesepakatan yang telah ditandatangani melalui perjanjian.dengan Indonesia. Itulah sebabnya proses ratifikasi perjanjian batas perairan Indonesia dengan negara tetangga merupakan upaya penting dalam optimalisasi fungsi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. makasih ya.. tugasku akhirnya selesai juga :)

    BalasHapus
  3. Negara yg blum meratifiksasi unclos ad berapa, bisa dbutkqn spa saja

    BalasHapus