Minggu, 11 Desember 2011

RATIFIKASI PERJANJIAN BATAS-BATAS PERAIRAN INDONESIA DENGAN NEGARA TETANGGA SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI FUNGSI PERTAHANAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


A.   Latar Belakang Masalah
Kenyataan bahwa posisi Indonesia dikelilingi oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta diapit oleh dua benua besar, yaitu Benua Asia dan Benua Australia, membawa dampak positif dan juga dampak negative bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi upaya pertahanan dan keamanan Negara. Dampak positif yang diperoleh adalah Indonesia berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sedangkan  dampak negatifnya adalah Indonesia rawan mengalami konflik dengan negara tetangga yang berbatasan langsung (daratan) dan berbatasan tidak langsung (perairan) dengan Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk memastikan batas-batas wilayah kekuasaan Indonesia yang diakui secara internasional.
            Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara, khususnya batas wilayah perairan  merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim sebagaimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. (Etty R Agoes, 2004).
Adapun batas-batas maritim yang tertuang dalam UNCLOS 1982 meliputi batas-batas Laut Teritorial (Territorial Sea), batas-batas Perairan Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE (Economic Exclusive Zone), dan batas-batas Landas Kontinen (Continental Shelf). Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan kesejahteraan warga negara melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai (off-shore), wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya.  Kejelasan batas-batas perairan negara dengan negara tetangga juga membantu memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Begitu pentingnya kepastian hukum mengenai batas-batas perairan Indonesia dengan negara-negara tetangga, sehingga segala bentuk kesepakatan melalui perjanjian dengan negara tetangga harus melalui tahap ratifikasi perjanjian agar masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat konsisten dan terhindar dari upaya pelanggaran perjanjian.  Mengingat pentingnya ratifikasi perjanjian internasional mengenai batas-batas perairan negara, lembaga legislatif sebagai lembaga yang berwenang seharusnya tidak mengabaikan proses ini, sebagaimana disampaikan Yusril Ihza Mahendra (1996:126).
 Mengingat bahwa suatu perjanjian internasional akan membawa akibat-akibat hukum tertentu, yaitu timbulnhya hak-hak dan kewajiban, serta berbagai implikasi di bidang politik, ekonomi, social-budaya, pertahanan keamanan, dan sebagainya, maka sudah seharusnya perjanjian itu tidak hanya disahkan oleh pihak eksekutif.
Oleh karena itu, walaupun pihak eksekutif telah menandatangani suatu perjanjian internasional, pengesahan perjanjian itu masih memerlukan persetujuan lembaga-lembaga perwakilan rakyat .Dalam kenyataannya, proses  ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian tentang batas-batas perairan kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun lembaga perwakilan yang berwenang yaitu DPR.



B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis temukan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :  Bagaimanakah Ratifikasi Perjanjian Batas-Batas Perairan Indonesia Dengan Negara Tetangga Sebagai Upaya Optimalisasi Fungsi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

C.   Tinjauan Teori
1.    Pengertian Ratifikasi
Menurut Yusril Ihza Mahendara (1996:123), secara sederhana istilah ratifikasi mengandung makna pengesahan suatu perjanjian yang bercorak internasional. Dikatakan internasional karena praktik ratifikasi pada umumnya berhubungan dengan pengesahan perjanjian yang dibuat oleh satu negara dengan negara lain, atau antara satu negara dengan suatu lembaga (organisasi) internasional.

2.    Lembaga dan prosedur ratifikasi
Hukum Tata Negara RI mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai persetujuan DPR, bukan konfirmasi. Hal ini tercermin dalam pasal 11 UUD 1945 ayat 1 – 2, yaitu : (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (2) Presiden dalalm membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tentang Perjanjian Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi DPR” ketimbang “persetujuan DPR”.
Adapun mengenai prosedur ratifikasi perjanjian internasional, dikenal dua prosedur yang berlaku dalam suatu negara, yaitu prosedur eksternal (internasional) dan prosedur internal (nasional). Pada prosedur eksternal, ratifikasi dilakukan sebagai bentuk konfirmasi pemerintah kepada parlemen atau lembaga perwakilan rakyat sebagai pemberitahuan bahwa telah dilakukan perjanjian dengan negara lain. Sedangkan dalam prosedur internal (nasional), proses ratifikasi selain merupakan konfirmasi pemerintah kepada parlemen bahwa negara telah menandatangani suatu perjanjian, juga berarti persetujuan dari parlemen sebelum pemerintah menandatangani perjanjian.
3.    Wilayah Perairan Indonesia
Wawasan Nusantara sebagai konsep kewilayahan adalah wawasan yang dicetuskan dalam Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Pokok-pokok pengertian tentang perairan yang disebutkan dalam deklarasi itu kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 (18 Februri 1960) tentang perairan Indonesia. Ketentuan ini menyatakan bahwa lautan Republik Indonesia adalah selain “laut-laut dalam” dan “selat-selat dalam” (maksudnya lautan dan selat di antara pulau-pulau), juga termasuk lautan territorial sepanjang 12 mil, yang dihitung mulai dari suatu “garis dasar” yang telah ditetapkan ke lautan (bebas). Adapun yang dimaksud dengan ‘garis dasar” tersebut adalah garis dalam peta yang dibuat di sekeliling seluruh kepulauan Indonesia dan terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan pulau-pulau yang terujung di sekitar kepulauan Republik Indonesia.
Setelah melalui perjuangan panjang dan sangat rumit di forum internasional, akhirnya konferensi PBB tentang Hukum Laut III di New York pada 30 April 1940 telah menghasilkan united Nations Conventions on the Law of The Sea (Konvensi PBB tnetang Hukum Laut). Konvensi ini kemudian ditandatangani di Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982 oleh 117 negara peserta termasuk RI. Konvensi ini antara lain mengakui tentang azas negara kepulauan (Archipelago State Principle) dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).  Pada 18 Oktober 1983, Pemerintah RI telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tentang Zona Ekonomi eksklusif Indonesia. Pada tahun 1985 telah dilkeluarkan UU No. 17 tahun 1985, tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.
4.    Fungsi Pertahanan Negara
Seorang ahli politik bernama Miriam Budiardjo mengatakan bahwa setiap negara apapun ideologinya, menyelenggarakan beberapa fungsi minimum, yaitu :
a.    Fungsi penertiban (Law and Order), Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban atau bertindak sebagai stabilisator.
b.    Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari negara.
c.    Fungsi Pertahanan yaitu untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, sehingga negara harus diperlengkapi dengan alat-alat pertahanan.
d.    Fungsi keadilan, yang dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.
Khusus mengenai fungsi pertahanan, dimaksudkan terutama untuk menjaga dan mempertahankan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa batas-batas wilayah territorial negara benar-benar aman dari segala kemungkinan serangan dari luar, termasuk memastikan bahwa negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah perairan melaksanakan seluruh kesepakatan yang telah ditandatangani melalui perjanjian.dengan Indonesia. Adapun beberapa negara yang memiliki perjanjian perbataasan di wilayah perairan dengan Indonesia adalah : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.

D.   Pembahasan  Masalah
Status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah dikukuhkan melalui c Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim. Namun seiring dengan hal itu, Indonesia juga mempunyai tugas untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya di laut terhadap dunia internasional, sesuai dengan kesepakatan Konvensi.
 Indonesia sepatutnya mensyukuri adanya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS), sebab Indonesialah yang paling diuntungkan mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan, yaitu luas daratan 2.027 km2, sedangkan luas perairan 6.184.280 km2. Perjuangan Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum internasional mengenai batas-batas perairan berikut hak-hak sebagai negara kepuluan telah berlangsung selama 25 tahun, dan akhirnya melalui UNCLOS diputuskan ketentuan-ketentuan tentang perairan pedalaman (Inland waters), perairan kepulauan (Archipelago waters), laut wilayah / territorial (Territorial waters), landas kontinen (Continental shelf), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Zona tambahan. Dalam UNCLOS tersebut memuat ketentuan/peraturan tentang bagaimana menentukan titik pangkal (base points), garis pangkal (base lines), dan ketentuan jarak.
Sebagai konsekuensi dari adanya Hukum Laut Internasional (HLI), Indonesia mempunyai tugas untuk mengelaborasi dan menjabarkan HLI ini untuk kepentingan Indonesia sendiri dan untuk pengaturan lalu lintas laut internasional yang cukup padat (karena kedudukan wilayah NKRI yang strategis) serta melaksanakan perundingan dengan negara-negara tetangga untuk menentukan batas perairan. Semua itu perlu dilakukan dalam rangka penegakan wilayah kedaulatan NKRI. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian tentang batas-batas perairan dengan negara tetangga, antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, India, Papua Nugini, Australia, Vietnam, dan Filipina. Namun belum semua dari perjanjian itu yang telah diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Riwayat ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang ternyata tidak begitu baik. Sikap DPR sebagai lembaga yang berwenang meratifikasi perjanjian atau Undang-Undang seringkali pasif. DPR cenderung hanya menunggu, apabila Pemerintah mengajukan RUU ratifikasi tentang suatu perjanjian internasional, barulah DPR membahasnya. Sebaliknya meskipun DPR mengetahui ada perjanjian-perjanjian yang sepatutnya memerlukan ratifikasi DPR, tetapi pemerintah tidak mengajukan RUU ratifikasi, maka DPR pun tidak bereaksi. (Yusril Ihza Mahendra, 1996 : 131).
Akan tetapi, untuk perjanjian-perjanjian dengan negara tetangga tentang batas-batas perairan, baik pemerintah maupun DPR telah memiliki kepedulian dan tanggung jawab untuk melakukan ratifikasi. Hal ini menunjukkan tingginya semangat bela negara dan kesadaran terhadap pentingnya upaya pertahanan dan keamanan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berikut ini proses ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional mengenai batas-batas wilayah perairan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia bersama DPR.
1.    Ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Seal/UNCLOS) pada tahun 1982.
Pemerintah Indonesia  telah meratifikasi UNCLOS’82 dengan UU. No: 17 tahun 1985, hal-hal fundamental yang diatur dalam konvensi ini adalah diterimanya konsepsi negara kepulauan (Archipelagic State) , ditetapkannya lebar laut wilayah (teritorial) 12 NM, batas zone ekonomi eksklusif (ZEE) 200 NM dan batas landas kontinen. Dengan berlakunya ketentuan UNCLOS’82, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan secara formal telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk mengenai hak-hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah-wilayah negara kepulauan. Untuk itu sebagai negara kepulauan Indonesia dapat menerapkan ketentuan yang ada dalam konvensi khususnya yang berkaitan dengan aspek penetapan batas laut Indonesia dengan Negara-negara tetangga.

2.    Ratifikasi perjanjian batas-batas perairan antara Indonesia dengan Malaysia
Batas maritim antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka telah ditetapkan oleh kedua negara dengan melakukan perjanjian batas landas kontinen yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini masih berdasarkan ketentuan-ketentuan hasil konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958, dimana hasil konferensi ini masih belum memuat ketentuan tentang batas zona ekonomi. Oleh karena itu, sebagai implementasi lahirnya UNCLOS’82 , Indonesia berupaya untuk menetapkan batas maritim dengan Malaysia terutama batas laut ZEE di perairan Selat Malaka .

Batas ZEE dengan Malaysia di Selat Malaka sampai saat ini belum pernah dirundingkan atau dibuat perjanjiannya dengan Malaysia sehingga Indonesia menganggap masih bermasalah dan mendesak Malaysia untuk segera mengadakan pembicaraan. Selama ini Malaysia menganggap perjanjian batas landas kontinen dengan Indonesia tahun 1969 sekaligus juga batas ZEE (single maritime boundaries). Pendapat Malaysia ini , telah melanggar prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNCLOS’82 karena ketentuan-ketentuan dalam ZEE pada pasal 55, 56 dan 57 berbeda dengan  ketentuan pada perjanjian landas kontinen dengan Malaysia pada 27 Oktober 1969 , sehingga dengan adanya pendapat Malaysia di atas bangsa Indonesia akan dirugikan baik dari segi politik, ekonomi dan hankam.

Dengan penetapan batas ZEE yang baru tentunya Indonesia akan diuntungkan, karena garis batas ZEE Indonesia dengan Malaysia akan berada di sebelah kanan garis batas landas kontinen atau mengarah ke pantai Malaysia. Keuntungan lain yang diperoleh Indonesia dengan adanya garis batas ZEE baru adalah wilayah perairan Indonesia akan bertambah luas dan dengan sendirinya akan diperoleh keuntungan secara ekonomi karena sumberdaya perikanan di daerah tersebut sangat melimpah. Sedangkan keuntungan politis yang diperoleh pemerintah Indonesia adalah, hasil exercise penetapan garis batas ZEE di Selat Malaka dapat digunakan sebagai dokumen teknis dalam perundingan batas ZEE di Selat Malaka dan apabila hasil penetapan dipakai sebagai klaim unilateral garis batas ZEE Indonesia di Selat Malaka maka dapat dipakai sebagai batas operasional kapal-kapal TNI AL dalam penegakkan hak berdaulat NKRI di Selat Malaka.

Indonesia dengan Malaysia telah menyepakati penetapan garis batas landas kontinen yang terletak di perairan Selat Malaka pada tanggal 27 Oktober 1969, perjanjian ini menyetujui penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan (pantai Timur Malaka). Penetapan titik-titik koordinat secara teknis menggunakan ketentuan-ketentuan pada konferensi PBB I tahun 1958 dan oleh Malaysia secara sepihak perjanjian batas landas kontinen dianggap sekaligus garis batas ZEE (single line), sedangkan Indonesia menganggap batas ZEE kedua negara belum pernah dirundingkan sehingga belum ada batasnya dan menurut ketentuan UNCLOS’82 batas landas kontinen tidak harus sama dengan batas ZEE.

Perjanjian batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di perairan Selat Malaka tahun 1969, secara teknis dan yuridis sangat merugikan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam penetapan batas tersebut menggunakan titik-titik dasar dan garis dasar pada air rendah (kontur nol) di pantai Timur Sumatera seperti tercantum dalam UU. No : 4 / Prp. Tahun 1960, sedangkan Malaysia menarik garis dasar dari Pulau Jarak ke Pulau Perak sejauh 123 NM, ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS’ 82 dimana pada Pasal 47 ayat (2) hanya membolehkan maksimal 100 NM. Disamping itu sebagai negara pantai (coastal state) Malaysia seharusnya menarik garis dasar dari main island bukan dari Pulau Jarak ke Pulau Perak yang sangat jauh dari pantai, hal ini menyebabkan penetapan batas landas kontinen hasil perundingan tahun 1969 sangat merugikan Indonesia karena garis batasnya cenderung masuk ke arah pantai Indonesia.

Berdasarkan kondisi di atas maka, Indonesia tentunya harus melakukan revisi atau mengkaji ulang hasil perjanjian landas kontinen tahun 1969. Kondisi geografis pantai Indonesia dan pantai Malaysia di perairan Selat Malaka yang saling berhadapan maka, berdasarkan ketentuan Pasal 74 UNCLOS’82 dan Point 6. Bilateral Boundaries TALOS Sp. No. 51 1993 penetapan garis batas ZEE dapat direkonstruksi menggunakan metode garis tengah (median line) untuk mencapai pemecahan yang adil.


Tindakan-tindakan sepihak yang dilakukan Malaysia kaitannya dengan kesepakatan batas-batas perairan dengan Indonesia tentunya tidak akan terjadi apabila Indonesia segera melakukan ratifikasi perjanjian landas kontinen 27 Oktober 1969 dengan Malaysia Karena dengan ratifikasi akan mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
3.    Ratifikasi perjanjian batas-batas perairan dengan Australia
Perjanjian-perjanjian mengenai batas perairan antara Indonesia dengan Australia yang dibuat dari tahun 1973-1997 ternyata belum pernah diratifikasi oleh parlemen Australia maupun Indonesia. Anehnya Australia telah menggunakan perjanjian tersebut untuk mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah teritorinya, termasuk seluruh kekayaan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya.
Kenyataan tersebut sangat disayangkan, karena ternyata seluruh perjanjian tentang batas-batas perairan antara Australia dengan Indonesia dari tahun 1973 sampai 1997 sangat merugikan Indonesia dan harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan data geologi dan geomorfologinya.

E.    KESIMPULAN

Begitu pentingnya kepastian hukum mengenai batas-batas perairan Indonesia dengan negara-negara tetangga, sehingga segala bentuk kesepakatan melalui perjanjian dengan negara tetangga harus melalui tahap ratifikasi perjanjian agar masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat konsisten dan terhindar dari upaya pelanggaran perjanjian.
Dalam kenyataannya, proses  ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian tentang batas-batas perairan kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun lembaga perwakilan yang berwenang yaitu DPR. Dari sekian banyak perjanjian perbatasan perairan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, masih ada perjanjian yang belum diratifikasi, antara lain  perjanjian perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dan Australia. Dampak dari belum dilakukannya ratifikasi perjanjian perbatasan tersebut adalah munculnya tindakan-tindakan sepihak dari Australia dan Malaysia yang melanggar isi perjanjian, atau bahkan bertindak di luar ketentuan-ketentuan yang tercantum pada perjanjian.
Pelanggaran batas perairan oleh negara lain menunjukkan lemahnya fungsi pertahanan negara, sebab batas wilayah dan yurisdiksi negara, khususnya batas wilayah perairan   merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa batas-batas wilayah territorial negara benar-benar aman dari segala kemungkinan serangan dari luar, termasuk memastikan bahwa negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah perairan melaksanakan seluruh kesepakatan yang telah ditandatangani melalui perjanjian.dengan Indonesia. Itulah sebabnya proses ratifikasi perjanjian batas perairan Indonesia dengan negara tetangga merupakan upaya penting dalam optimalisasi fungsi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kamis, 08 Desember 2011

IMPLEMENTASI GERAKAN REFORMASI DI INDONESIA DALAM PEMBELAJARAN TATA NEGARA DAN NILAI MORAL DI INDONESIA

A.   Latar belakang Masalah
Indonesia pernah menghadapi situasi yang begitu berat dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang ekonomi dan politik. Masalah nasional ini berawal dari krisis moneter, kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan meluas menjadi krisis kepercayaan kepada Pemerintah pada tahun 1998. Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden sebagai jawaban atas tuntutan berbagai pihak yang berpendapat telah terjadi berbagai penyimpangan di berbagai bidang termasuk penyimpangan dalam tata pemerintahan dan prosedur ketatanegaraan. Situasi krisis demikian menuntut perlunya reformasi yang telah dipelopori oleh mahasiswa.
Upaya reformasi yang dilakukan kemudian ternyata berdampak pada muatan  pengajaran sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat materi ketatanegaraan. Sebelum reformasi, Pemerintah Orde Baru yang pada awal kelahirannya bertekad akan melakukan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan di masa Orde Lama dan bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, semakin lama semakin bergerak ke arah yang konservatif. Konstitusionalisme yang semula dijunjung tinggi berubah menjadi mitos. Konstitusi kurang dilihat dengan cara pandang rasional sebagai aturan-aturan dasar yang bercorak normatif tentang penyelenggaraan negara, tetapi lebih dilihat sebagai dokumen sakral yang seolah-olah  “disucikan”.  Demikian sakral dan “suci”nya sehingga jarang “disentuh” kecuali hanya disebut dalam pidato-pidato para pejabat, baik resmi maupun tidak resmi. Pancasila dan UUD 1945 kemudian cenderung berubah fungsi sebagai mitos sakral pengabsah kekuasaan, bukan tuntutan moral politik yang menuntun perjalanan hidup bernegara. Oleh karena itu, produk-produk legislatif justru cenderung menjadi sarana rekayasa politik untuk menjamin stabilisasi kekuasaan seperti terlihat di dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU Pemilu dan UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Hal itu dinyatakan juga oleh Yusril Ihza Mahendra (1996 : 91),
Celakanya, di bidang hukum tata negara, unsur ketidakadilan dengan mudah terjadi, entah sengaja entah tidak. Kekuasaan yang menciptakan hukum justru tidak sepenuhnya dapat menghindar dari upaya mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status kuo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Dalam konteks inilah ditemukan berbagai sorotan tajam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan seperti UU Pemilu, UU Parpol/Golkar dan UU Susduk, MPR, DPR dan DPRD.

Oleh karena itu, adanya fakta sejarah munculnya gerakan reformasi di Indonesia hendaknya menjadi momen “titik balik” bagi guru PKN untuk melakukan perubahan-perubahan orientasi pengajaran Tata Negara dan Nilai-Nilai Pancasila di lingkungan pendidikan formal. Dengan kata lain, Fakta sejarah munculnya gerakan reformasi memberikan pengaruh positif bagi upaya guru PKN dalam melakukan pengajaran Tata Negara dan Nilai-Nilai Pancasila  di lingkungan pendidikan formal. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mengimplentasikan nilai-nilai positif dar peristiwa gerakan reformasi di Indonesia. Atas dasar itulah maka penulis menyusun karya tulis yang berjudul IMPLEMENTASI GERAKAN REFORMASI DI INDONESIA DALAM PEMBELAJARAN TATA NEGARA DAN NILAI MORAL DI INDONESIA

B.    Rumusan Masalah
Permasalahan yang sering ditemui penulis adalah bagaimana cara mengimplementasikan nilai-nilai positif dari peristiwa Gerakan Reformasi di Indonesia dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), khususnya materi yang berkaitan dengan Tata Negara dan nilai moral. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah Bagaimana implementasi Gerakan Reformasi di Indonesia dalam  pembelajaran Tata Negara dan Nilai Moral di Sekolah.

C.   Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan  nilai-nilai positif dari peristiwa Gerakan Reformasi dalam pembelajaran Tata Negara dan Nilai Moral di sekolah.
2.    Merancang suatu model pembelajaran yang dapat Membantu menstimulus, mengundang, dan melibatkan seluruh potensi siswa, baik kognitif, afektif, dan psikomotor selama proses pembelajaran.
3.    Membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran melalui contoh-contoh kasus yang nyata terjadi di Indonesia, sehingga mudah dikenali dan dipahami siswa.

D.   Manfaat Penelitian
Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak,sebagai berikut :
1.    Guru
Memberikan alternatif model pembelajaran yang dapat dipilih untuk menyampaikan materi tentang ketatanegaraan dan nilai moral, tentunya agar sejalan dengan semangat reformasi di Indonesia.

2.    Siswa
Memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran, mengetahui dan memahami semangat reformasi, serta memiliki kepedulian terhadap keadaan bangsa dan negaranya.

3.    Sekolah
Sekolah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk memotivasi guru dalam mencari model-model pembelajaran yang mampu meningkatkan hasil belajar, sehingga memberikan kontribusi bagi upaya sekolah dalam mencapai kualitas akademik yang lebih baik.
  


BAB II
LANDASAN TEORI

A.   Latar Belakang Munculnya Gerakan Reformasi Di indonesia
Pada awal tahun 1997 krisis ekonomi melanda di beberapa bagian dunia, khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada saat itu nilai rupiah merosot tajam, tepatnya pada bulan Juli 1997. Krisis pada saat diperburuk oleh  kemarau panjang di Irian Jaya, sekitar 90.000 orang kelaparan, tidak mampu lagi memperoleh makanan. Rawan pangan kemudian merebak di berbagai daerah hingga kemudian Pemerintah sadar, krisis ekonomi yang menimpa cukup mengkhawatirkan. Maka pada tanggal 5 November 1997 Indonesia menandatangani kesepakatan dengan IMF, menyusul  akan dikucurkannya bantuan senilai US$ 43 miliar selama tiga tahun, dengan syarat pemerintah harus mereformasi lembaga keuangan dan industri ( Kholid O.Santosa, 2009 : 207)
Keputusan pemerintah tersebut rupanya justru semakin menyuburkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah Orde Baru, khususnya di kalangan mahasiswa.  Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden sebagai jawaban atas tuntutan berbagai pihak yang berpendapat telah terjadi berbagai penyimpangan di berbagai bidang termasuk penyimpangan dalam tata pemerintahan dan prosedur ketatanegaraan. Situasi krisis demikian menuntut perlunya reformasi yang telah dipelopori oleh mahasiswa.
B.   Pengertian Gerakan Reformasi Di Indonesia
Reformasi merupakan sebuah kata yang sangat populer sejak saat itu, walaupun sesungguhanya kata itu sudah pernah digunakan, misalnya dalam undang-undang agraria (land reform). Reformasi dapat bermakna luas dapat juga dalam arti sempit. Dalam arti sempit reformasi diartikan sebagai turunnya rezim Orde Baru terutama setelah turunnya Presiden Soeharto digantikan oleh Habibie. Reformasi juga dipahami sebagai perubahan secara tegas dan menyeluruh di berbagai bidang (sosial, politik, atau agama) pada suatu masyarakat atau negara. Berbagai penyimpangan memang terjadi pada masa Orde Baru, sehingga peristiwa munculnya gerakan reformasi memiliki agenda utama yaitu meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut khususnya dalam tata pemerintahan dan ketatanegaraan.
C.   Implikasi Gerakan Reformasi dalam Pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah
Upaya reformasi yang dilakukan kemudian ternyata berdampak pada muatan  pengajaran sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat materi ketatanegaraan. Sebelum reformasi, Pemerintah Orde Baru yang pada awal kelahirannya bertekad akan melakukan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan di masa Orde Lama dan bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, semakin lama semakin bergerak ke arah yang konservatif. Konstitusionalisme yang semula dijunjung tinggi berubah menjadi mitos. Konstitusi kurang dilihat dengan cara pandang rasional sebagai aturan-aturan dasar yang bercorak normatif tentang penyelenggaraan negara, tetapi lebih dilihat sebagai dokumen sakral yang seolah-olah  “disucikan”.  Demikian sakral dan “suci”nya sehingga jarang “disentuh” kecuali hanya disebut dalam pidato-pidato para pejabat, baik resmi maupun tidak resmi. Pancasila dan UUD 1945 kemudian cenderung berubah fungsi sebagai mitos sakral pengabsah kekuasaan, bukan tuntutan moral politik yang menuntun perjalanan hidup bernegara. Oleh karena itu, produk-produk legislatif justru cenderung menjadi sarana rekayasa politik untuk menjamin stabilisasi kekuasaan seperti terlihat di dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR dan DPRD, UU Pemilu dan UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Hal itu dinyatakan juga oleh Yusril Ihza Mahendra (1996 : 91),
Celakanya, di bidang hukum tata negara, unsur ketidakadilan dengan mudah terjadi, entah sengaja entah tidak. Kekuasaan yang menciptakan hukum justru tidak sepenuhnya dapat menghindar dari upaya mempertahankan kepentingan diri, entah kepentingan status kuo maupun kepentingan legitimasi kekuasaan. Dalam konteks inilah ditemukan berbagai sorotan tajam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan seperti UU Pemilu, UU Parpol/Golkar dan UU Susduk, MPR, DPR dan DPRD.


            Atas dasar kenyataan itulah kemudian pada tahun 1999 dilakukan revitalisasi Pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah, yang bertujuan untuk meluruskan target pembelajaran PKn yang memiliki muatan lengkap dan berimbang antara pengetahuan ketatanegaraan dan pendidikan nilai-moral-norma dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya, karena tujuan kurikulum pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang baik (Good Citizen), maka semangat dan nilai-nilai reformasi hendaknya menjadi  hidden curriculum yang dapat diwujudkan melalui pemilihan multi media dan metode pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini, Kosasih Djahiri (1985 : 59) menyampaikan tentang target ideal dalam pengajaran nilai-moral di sekolah adalah sebagai berikut
1.    Pembinaan dan pemahaman konsep
2.    Pembinaan dan kesinambungan antara :
a.    Idealisme dengan kenyataan
b.    Ucapan dengan perbuatan
c.    Kepentingan diri dengan kepentingan umum
3.    Pembinaan nilai di saat berlangsungnya proses belajar-mengajar agar :
a.    Timbul kesadaran akan adanya berbagai jenis nilai
b.    Timbul kesadaran akan pentingnya keberadaan nilai tersebut
c.    Timbul keinginan untuk menyerap nilai tersebut
d.    Timbul keinginan untuk menguji kebenaran nilai tersebut
e.    Timbul hasrat memperbandingkan, memilih, dan menentukan pilihannya.
4.    Pembinaan pengertian dan sikap ( attitudional understanding) untuk hidup bersama dengan asas
a.    Kepatuhan kepada penguasa
b.    Keterbukaan dan inovatif
c.    Saling ketergantungan dengan sesama dalam iklim persatuan dan kerja sama yang serasi, selaras dan seimbang.
5.    Pembinaan keterampilan dasar yang berkaitan dengan :
a.    Keterampilan akademik
b.    Keterampilan fisik
c.    Keterampilan sosial
d.    Keterampilan politis ( melek politik = political litterate)
Untuk mencapai target pendidikan nilai moral tersebut, diperlukan strategi belajar mengajar yang melibatkan seluruh aspek potensi siswa, yaitu potensi kognitif, afektif dan psikomotor.

 

BAB III
APLIKASI DALAM PEMBELAJARAN

Sebagai pengajar dan pendidik, Guru PKN berkewajiban untuk menyampaikan materi ketatanegaraan dan nilai-nilai moral kepada siswa sekaligus mendeskripsikan secara utuh fakta-fakta sejarah yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Beberapa upaya implementasi fakta sejarah gerakan reformasi dalam Pengajaran Tata Negara dan Nilai-Nilai moral dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.    Implementasi  Gerakan Reformasi Indonesia dalam pengajaran Tata Negara
     Bidang hukum tata negara memang berkaitan erat dengan bidang politik, di mana kepentingan-kepentingan politik, pandangan-pandangan ideologi, serta pendirian-pendirian politik saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, adanya keragaman pendapat mengenai suatu masalah adalah sah saja dan harus dipandang dengan kepala dingin dan hati yang terbuka. Paradigma berpikir seperti inilah yang hendaknya ditanamkan kepada siswa. Sikap apriori dalam menerima atau menolak sesuatu tanpa sikap kritis tidak akan membawa kita pada kebenaran.
     Sebagaimana kecenderungan di negara-negara berkembang, di Indonesia terdapat jarak yang cukup lebar antara rumusan-rumusan ideal normatif di dalam konstitusi dengan kenyataan praktik sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu sebab munculnya gerakan reformasi. Oleh karena itu, Guru PKN hendaknya membiasakan siswa melakukan analisa kasus di bidang ketatanegaraan berdasarkan aturan-aturan normatif yang ada, sehingga siswa dapat menentukan sikap terhadap dinamika ketatanegaraan.
      Keinginan dari aparatur negara untuk konsisten dengan konstitusi dan prosedur hukum bukan hal yang mustahil. Demikian juga peran serta masyarakat sebagai warga negara yang patuh terhadap hukum juga penting. Oleh karena itu, Guru PKN hendaknya membiasakan siswa untuk membuat dokumentasi berita dari surat kabar atau majalah yang berkaitan dengan dinamika pelaksanaan hukum tata negara di Indonesia.
     Selanjutnya perlu dipahami bahwa hukum tata negara yang bersumber pada UUD 1945 dan tata urutan perundang-undangan di bawahnya sebenarnya telah demikian baik dan sempurna memuat kaidah-kaidah yang diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Namun, terdapat banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, sebagaimana dinyatakan Yusril Ihza Mahendra (1996 : 164).
                                                                                                              Kelemahan pelaksnaan fungsi-fungsi DPR tidak terletak pada rumusan-rumusan normatif di dalam konstitusi, tetapi pada tingkat peraturan pelaksanaannya.
       Oleh karena itu,  dalam beberapa kesempatan guru PKN hendaknya mengajak siswa untuk melakukan Uji materil  produk hukum melalui tahapan analisis sederhana terhadap peraturan perundang undangan di Indonesia.

a.  Pelaksanaan Pembelajaran
Berikut ini adalah contoh implementasi gerakan reformasi di Indonesia dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PKn, dengan metode Analisis  Sederhana terhadap berbagai Undang Undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman yang berlaku di Indonesia.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Mata Pelajaran                        : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas / Semester                    : VIII / 1
Alokasi Waktu                         : 2  x 40  Menit (1kali pertemuan)

A.    Standar Kompetensi                     :
      Menampilkan ketaatan terhadap perundang    undangan nasional

B.    Kompetensi Dasar                        :
      Mendeskripsikan proses pembuatan perundang undangan nasional

C.   Indikator                :
      Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam proses pembuatan Undang            Undang

D.   Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran siswa mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam proses pembuatan Undang Undang.

E.    Materi Pembelajaran
1.    Prosedur penyusunan Undang Undang, baik Undang Undang atas inisiatif DPR maupun Pemerintah.
2.    Prosedur pengajuan gugatan terhadap materi Undang Undang ke Mahkamah Konstitusi.

F.    Metode Pembelajaran
1.    Analisis sederhana terhadap Undang undang
2.    Diskusi melalui aktivitas tanya jawab

G.   Langkah-Langkah Pembelajaran

No
Kegitan Belajar
Waktu
Keterangan
1









2





















3
Pendahuluan
a.    Apersepsi,
Kesiapan kelas  dalam pembelajaran (Membaca al Qur’an dan tarjamahnya, absensi, kebersihan kelas dll)


b.   Motivasi
1.    Penjajakan kesiapan belajar siswa dengan memberikan pertanyaan tentang materi yang akan diajarkan
2.    Informasi kompetensi yang akan dicapai

Kegiatan Inti
a.    Penjelasan konsep secara umum tentang proses pembuatan peraturan perundang undangan yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya.
b.    Siswa dibagi ke dalam 6 kelompok yang masing-masing kelompok berjumlah 5 orang .
c.    Setiap kelompok mendapatkan dokumen gugatan masyarakat terhadap Undang Undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
d.    Guru menyampaikan fakta tentang adanya beberapa gugatan masyarakat terhadap Undang Undang Kehakiman khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan prosedur dan keputusan pengadilan ke Mahkamah Konstitusi.
e.    Siswa mengidentifikasi data-data yang mendukung atau bahkan tidak mendukung adanya fakta tersebut, dengan mencari informasi di surat kabar, majalah, dan buku-buku penunjang lainnya.
f.     Siswa menentukan dugaan-dugaan sementara berkaitan dengan latarbelakang munculnya fakta.
g.    Setiap kelompok menyampaikan analisis mereka tentang latar belakang gugatan, apakah disebabkan oleh materi Undang-Undang atau kesalahan pada prosedur penyusunan Undang-Undangnya.
h.    Melalui diskusi antara siswa dan guru, dibuatlah kesimpulan terhadap adanya fakta gugatan masyarakat terhadap Undang Undang RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman ke Mahkamah Konstitusi

Penutup
1.    Mengumpulkan hasil diskusi
2.    Melakukan refleksi pelaksanaan diskusi
3.    Tindak lanjut dengan memberikan tugas rumah untuk mempersiapkan  untuk persentasi pertemuan selanjutnya
10’









60’






















10



H.   Media dan Sumber Pembelajaran
1.    Buku paket kewarganegaraan dengan multi sumber
2.    Dokumen / print out informasi gugatan-gugatan masyarakat terhadap Undang-undang ke Mahkamah Konstitusi
3.    Artikel atau berita yang relevan di Surat Kabar, majalah dll
4.    Lembar pengamatan belajar siswa

I.      Penilaian dan Tindak Lanjut melalui Observasi Kinerja Siswa (pengamatan diskusi dan kerja kelompok), dengan format :

No
Nama
Aktivitas Dalam Pembelajaran
Total
Presentasi
Menanggapi
Bertanya
Menjawab
Kerja
sama
Kesungguhan & Partisipasi
Etika berpendapat
1
2
…….
…….










b. Manfaat dan hasil yang diharapkan
Kegiatan analisis sederhana terhadap fakta seperti diuraikan di atas sangat bermanfaat serta memberikan pengaruh positif bagi siswa :antara lain :
1)          memotivasi siswa agar mengetahui lebih banyak tentang produk-produk hukum di Indonesia dan menumbuhkan kepedulian terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia.
2)          Siswa memiliki pengetahuan mengenai prosedur pengajuan gugatan perihal produk peraturan perundangan ke Mahkamah konstitusi sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan kemampuan Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
3)           Siswa dilatih untuk menerima adanya keragaman pendapat mengenai suatu masalah, tanpa menghilangkan sikap kritis dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang muncul akibat perbedaan tersebut.


2.      Implementasi  Gerakan Reformasi Indonesia dalam pengajaran Nilai-      Nilai Moral
      Mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa sebelum reformasi dulu merupakan kegiatan belajar yang lebih banyak menyosialisasikan nilai-nilai, bahkan demikian luasnya sehingga menjadi beban hafalan peserta didik. Sedangkan pembentukan sikap dan perilaku agak diabaikan. Dengan demikian hasilnya lebih banyak pada segi kognitif. Padahal PKN diharapkan tidak sekedar kognitif, melainkan lebih banyak ditujukan pada pembentukan sikap moral dan akhlak.
      Fakta sejarah munculnya gerakan reformasi turut mendorong perubahan sistem pengajaran nilai-nilai Moral. Dalam kegiatan belajar setelah masa reformasi lebih banyak kegiatan dialogis dan diskusi yang memberikan porsi berbicara lebih banyak kepada siswa. Di samping itu, siswa dikondisikan lebih leluasa dalam menunjukkan sisi afeksinya agar penanmkan nilai-nilai Pancasila menjadi lebih efektif karena nilai sangat berkaitan erat dengan ranah afektif. Sebagaimana dinyatakan Achmad Kosasih Djahiri (1980 : 18), bahwa Nilai (value) dan sejenisnya merupakan wujud daripada afektif (affective domain) serta berada dalam diri seseorang.
     Dalam era reformasi sekarang ini pendidikan nilai moral menjadi amat penting bukan saja karena menghadapi era globalisasi tetapi juga karena cita-cita yang terkandung dalam upaya reformasi tersebut. Dalam hal ini, guru dapat bertindak seolah olah berpihak pada pelaku kejahatan misalnya pelaku korupsi, mafia peradilan, pemilu yang curang, dan sebagainya. Pada saat itulah siswa akan merasa terpanggil untuk meluruskan pendapat gurunya, agar sesuai dengan sistem nilai kebenaran yang sebelumnya telah tertanam dalam dirinya (affective domain).
Gerakan reformasi ternyata pada akhirnya berdampak pada kebebasan rakyat yang cenderung berlebihan dalam berpendapat di muka umum, menyebabkan sering terjadi aktivitas demonstrasi besar-besaran disertai tindakan perusakan dan penghinaan terhadap simbol-simbol kehormatan negara. Kenyataan ini dapat digunakan guru untuk menggali potensi afeksi siswa agar mampu menentukan sikap yang benar sesuai sistem nilai dan norma yang berlaku di Indonesia.
Dalam kegiatan belajar – mengajar di kelas, guru Pkn dapat menyiapkan model pembelajaran yang mampu menstimulus seluruh potensi siswa (kognitif, afektif, dan psikomotor), dalam hal ini, peneliti merekomendasikan metode analisis nilai terhadap berita di surat kabar dengan beberapa pendekatan berikut :
a.    Penentuan stimulus yang dilematis dan memuat konflik nilai / moral, melalui kegiatan :
1)    Mengidentifikasi masalah (konflik nilai)
2)    Mengidentifikasi fakta yang di muat dalam stimulus
3)    Menentukan kesamaan pengertian
4)    Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan
b.    Penentuan pilihan, kedudukan / posisi tanggapan siswa melalui :
1)    Pengajuan tanggapan / posisi secara perorangan
2)    Pengajuan tanggapan /posisis secara kelompok
3)    Mengklarifikasi pilihan posisi/ tanggapan tersebut.
Kegiatan kelompok perlu sekali untuk pertukaran pendapat / nilai serta pemantapan tanggapan, juga sebagai media latihan keterampilan sosial dan latihan merespon sistem nilai orang lain.
c.    Pengujian alasan  tanggapan / pendapat  melalui :
1)    Menguji alasan secara argumental (adu argumental)
2)    Pemantapan argumentasi dengan mengutrarakan :
a)    Isyu yang berkaitan dengan argumen tersebut
b)    Analogi kejadian
c)    Mengkaji akibat-akibat dari pilihan tersebut
d)    Menelaah kemungkinan penerapannya atau mengemukakan bukti-bukti nyata.
d.    Penyimpulan yang dilakukan oleh guru dan siswa.

e.    Pelaksanaan Pembelajaran
Berikut ini contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan metode Analisis nilai terhadap berita di surat kabar mengenai demonstrasi di Indonesia.
                                                                                  

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Mata Pelajaran                        : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas / Semester                    : VII / 2
Alokasi Waktu                         : 2  x 40  Menit (1kali pertemuan)


A.    Standar Kompetensi                     :
      Menampilkan perilaku kemerdekaan mengemukakan pendapat

B.    .Kompetensi Dasar                       :
Menguraikan pentingnya kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.

C.   Indikator                :
1.    Menjelaskan dasar hukum kemerdekaan mengemukakan pendapat.
2.    Menjelaskan hakikat kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
3.    Mengemukakan tatacara mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggungjawab.
D.   Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran siswa mampu :
1.    Menjelaskan dasar hukum kemerdekaan mengemukakan pendapat.
2.    Menjelaskan hakikat kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab.
3.    Mengemukakan tatacara mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggungjawab.

E.    Materi Pembelajaran
1.    Dasar-dasar hukum kemerdekaan mengemukakan pendapat
f.     Pasal 28F UUD 1945
g.    Undang Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekakan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum
h.    Undang Undang Nomor .39 Tahu 1999 tentang Hak Asasi Manusia


.
3.   Asas dan tujuan kemerdekaan mengemukakan mengemukakan pendapat
a.    Asas musyawarah dam mufakat
b.    Asas kepastian hukum dan keadilan
c.    Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban
d.    Asas proporsionalitas
e.    Asas mufakat
4.   Bentuk-bentuk dan tata cara mengemukakan pendapat di muka umum

F.    Metode Pembelajaran
3.    Analisis nilai terhadap berita surat kabar mengenai demonstrasi di Indonesia
4.    Diskusi melalui aktivitas tanya jawab

G.   Langkah-Langkah Pembelajaran

No
Kegitan Belajar
Waktu
Keterangan
1








2





















3
Pendahuluan
b.    Apersepsi,
Kesiapan kelas  dalam pembelajaran ( Membaca al Qur’an dan tarjamahnya, absensi, kebersihan kelas dll)
c.   Motivasi
1)    Penjajakan kesiapan belajar siswa dengan memberikan pertanyaan tentang materi yang akan diajarkan
2)    Informasi kompetensi yang akan dicapai

Kegiatan Inti
a.    Siswa dibagi dalam beberapa kelompok.
b.    Guru membagikan beberapa dokumentasi berita tentang peristiwa demonstrasi di Indonesia yang disertai tindakan perusakan dan penghinaan terhadap simbol-simbol kehormatan negara, kepada setiap kelompok.
c.    Siswa mengidentifikasi aspek-aspek positif dan negatif dari peristiwa demonstrasi tersebut.
d.    Guru dan siswa membahas hasil pekerjaan siswa, pada kesempatan inilah,  guru memberikan pendapat yang justru bertentangan dengan siswa, misalnya guru menyatakan bahwa demonstrasi yang disertai tindakan pengrusakan memang diperlukan agar mendapat perhatian dari pemerintah.
e.    Siswa diberi kesempatan untuk memberikan pendapat dan tanggapan (perorangan maupun kelompok) terhadap pernyataan guru tersebut. Pada saat ini guru mengamati perdebatan yang mungkin terjadi antara siswa.
f.     Guru melakukan klarifikasi pendapat siswa dengan menyampaikan dasar-dasar hukum kemerdekaan mengemukakan pendapat, pada saat ini guru dan siswa mengkaji akibat-akibat dari argumen siswa.
g.    Melalui aktivitas diskusi kelompok siswa dengan guru dibuatlah kesimpulan tentang bagaimana sikap siswa terhadap peristiwa demonstrasi di Indonesia.
Penutup
4.    Mengumpulkan hasil diskusi
5.    Melakukan refleksi pelaksanaan diskusi berupa pelurusan antara idealisme nilai / moral / norma dengan realita yang ada di masyarakat.

10’








60’





















10


H.   Media dan Sumber Pembelajaran
a.    Buku paket kewarganegaraan dengan multi sumber
b.    Dokumentasi berita surat tentang peristiwa-peristiwa demonstrasi di Indonesia.
c.    Artikel atau berita yang relevan di Surat Kabar, majalah dll
d.    Lembar pengamatan belajar siswa

I.      Penilaian dan Tindak Lanjut melalui Observasi Kinerja Siswa (pengamatan diskusi dan kerja kelompok), dengan format :

No
Nama
Aktivitas Dalam Pembelajaran
Total
Presentasi
Menanggapi
Bertanya
Menjawab
Kerja
sama
Kesungguhan & Partisipasi
Etika berpendapat
1
2
…….
…….









b.    Manfaat dan hasil yang diharapkan
Kegiatan analisis nilai terhadap berita di surat kabar mengenai pristiwa demonstrasi  yang disertai pengrusakan, tindakan anarkhis, bahkan penghinaan terhadap symbol-simbol kehormatan Negara seperti diuraikan di atas sangat bermanfaat bagi siswa, antara lain :
1.    Dokumentasi berita surat kabar dipilih karena dapat terjangkau oleh pengetahuan dan potansi afektual siswa sebab isi berita merupakan peristiwa yang sudah dikenal oleh siswa.
2.    Media dokumentasi surat kabar dapat membiasakan siswa untuk jeli dan cermat membaca berita-berita di surat kabar.
3.    Mendorong siswa untuk mau dan mampu mengemukakan pendapat secara objektif (apa adanya) sesuai fakta pada isi berita.
4.    Melatih Kemampuan siswa untuk menganalisis isi berita secara proporsional sesuai tingkat pengetahuan tentang materi yang relevan dengan isi berita.
5.    Melatih kualitas kemampuan siswa dalam berdiskusi, antara lain :
a.    Kemampuan berkomunikasi dengan teman satu kelompok maupun antar kelompok.
b.    Kemampuan bekerja sama menyelesaikan tugas
                   Pemilihan media Dokumentasi berita di surat kabar  dan informasi gugatan masyarakat terhadap perundang undangan ke Mahkamah konstitusi, serta metode analisis nilai terhadap berita surat kabar tentang peristiwa demonstrasi yang disertai pengrusakan, tindakan anarkhis bahkan penghinaan terhadap simbol-simbol kehormatan negara dan analisis sederhana terhadap produk-produk hukum di Indonesia  sebagaimana diuraikan di atas diyakini mampu mengimplementasikan nilai-nilai positif dari peristiwa gerakan reformasi di Indonesia.



BAB IV
KESIMPULAN
Gerakan reformasi di Indonesia menjadi momen “titik balik” bagi guru PKN untuk melakukan perubahan-perubahan orientasi pengajaran Tata Negara dan Nilai-Nilai Pancasila di lingkungan pendidikan formal. Dengan kata lain, Fakta sejarah munculnya gerakan reformasi memberikan pengaruh positif bagi upaya guru PKN dalam melaksanakan pengajaran Tata Negara dan Nilai moral  di sekolah.
Adapun upaya guru dalam mengimplementasikan gerakan reformasi di Indonesia dalam pembelajaran tata negara dan nilai moral di sekolah adalah sebagai berikut :
1.    Kegiatan analisis sederhana pada fakta banyaknya gugatan masyarakat terhadap peraturan perundangan di Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Metode ini  sangat bermanfaat dan memberikan pengaruh positif bagi siswa, antara lain :
a.    memotivasi siswa agar mengetahui lebih banyak tentang produk-produk hukum di Indonesia dan menumbuhkan kepedulian terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia.
b.    Siswa memiliki pengetahuan mengenai prosedur pengajuan gugatan perihal produk peraturan perundangan ke Mahkamah konstitusi sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan kemampuan Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
c.      Siswa dilatih untuk menerima adanya keragaman pendapat mengenai suatu masalah, tanpa menghilangkan sikap kritis dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang muncul akibat perbedaan tersebut.

2.    Kegiatan analisis nilai terhadap berita di surat kabar mengenai pristiwa demonstrasi  yang disertai pengrusakan, tindakan anarkhis, bahkan penghinaan terhadap symbol-simbol kehormatan Negara. Metode ini sangat bermanfaat bagi siswa, antara lain :
a.    Dokumentasi berita surat kabar dipilih karena dapat terjangkau oleh pengetahuan dan potansi afektual siswa sebab isi berita merupakan peristiwa yang sudah dikenal oleh siswa.
b.    Media dokumentasi surat kabar dapat membiasakan siswa untuk jeli dan cermat membaca berita-berita di surat kabar.
c.    Mendorong siswa untuk mau dan mampu mengemukakan pendapat secara objektif (apa adanya) sesuai fakta pada isi berita.
d.    Melatih Kemampuan siswa untuk menganalisis isi berita secara proporsional sesuai tingkat pengetahuan tentang materi yang relevan dengan isi berita.
e.    Melatih kualitas kemampuan siswa dalam berdiskusi, antara lain :
c.    Kemampuan berkomunikasi dengan teman satu kelompok maupun antar kelompok.
d.    Kemampuan bekerja sama menyelesaikan tugas






















DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Willis. 1988.Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Djahiri, Achmad Kosasih. 1985. Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT Dan Games Dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKn FPIPS IKIP Bandung
Dahlan, M.D. 1990. Model-model Mengajar. Bandung: cv. Diponegoro
Hamalik, Oemar. 1989. Media Pendidikan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Mahendra, Yusril Ihza. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning. Bandung: Penerbit Kaifa.
Santosa, O Kholid. 2009. SOEHARTO. Bandung: Sega Arsy.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.